Thursday, 10 May 2012

Kapitalisasi Pendidikan di indonesia


Kapitalisasi Pendidikan
Permasalahan mendasar dari semua itu adalah terjadinya praktik kapitalisasi pendidikan. Pendidikan yang sejatinya menjadi hak semua warga negara tanpa mengenal kelas, apakah itu kaya atau miskin, telah tergiring pada praktik jual beli pendidikan. Dengan memakai logika “siapa yang berduit maka mereka akan mengenyam sekolah elit yang berkualitas dan mereka yang miskin terpuruk dalam sekolah-sekolah yang mengenaskan”, pendidikan di Indonesia hanya akan mencipta jurang pemisah antara mereka yang kaya dan mereka yang miskin.
Kapitalisasi pendidikan terjadi tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah yang secara lambat laun mulai lepas tangan. Sejatinya memang pemerintah yang bertanggung jawab untuk mencerdaskan anak bangsa. Maka apabila pemerintah mulai undur diri, beberapa lembaga pendidikan baik swasta ataupun negeri mulai memakai logika pasar dalam mengelola pendidikan. Tidak serta merta menyalahkan beberapa lembaga pendidikan yang menekkan biaya melambung tinggi karena mereka sudah diliarkan oleh pemerintah untuk mengelola lembaganya secara otonom.
Pemerintah secara tidak langsung telah mengamini atau bahkan menjual pendidikan kita pada pasar. Hal ini mulai nampak ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. Dalam peraturan itu tertera bahwa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan non formal dapat dimasuki oleh modal asing dengan batasan kepemilikan modal asing maksimal 49 %. Akan disusul juga dengan RUU (Rancangan Undang-Undang) BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang targetnya akan disahkan tahun 2008 ini.
Apabila dari beberapa peraturan pemerintah yang menggiring terjadinya kapitalisasi pedidikan terus dibiarkan begitu saja, maka pendidikan di Indonesia hanya akan mencipta pemenang dan pecundang. Orang kaya dengan hartanya dapat membeli pendidikan elit yang serba lengkap dengan fasilitas mampuni. Sedangkan orang miskin hanya meringkuk di sekolah-sekolah kumuh yang serba kekurangan. Anak orang kaya bisa pintar dan dapat menorehkan presatsi bagus dalam kontek Internasional dan orang miskin hanya bercengkrama dengan kemiskinannya. Masa depan pun seakan terus berjalan dengan penuh ketimpangan. Bukan persoalan potensi kecerdasan yang membuat ini terjadi, tapi lebih pada tekanan sistem struktural yang menindas.
Untuk memangkas kapitalisasi pendidikan pemerintah sejatinya otokritik dan mulai menyadari akan tanggung jawabnya. Karena bagaimanapun pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjalankan amanat UUD 1945 dalam hal “Mencerdaskan kehidupan bangsa” dengan menyediakan pendidikan yang baik bagi setiap warga negaranya. Peraturan tersebut tidak mengenal kelas antara orangkaya dan miskin. Spirit Undang-undang itulah yang sejatinya dijatahkan dalam kebijakan pemerintah sehingga kapitalisasi pendidikan tidak terjadi dalam pendidikan kita.

Pengalaman saya di skolah, saat saya ingin membayar SPP kpada skolah di tanggal trakhir yaitu tanggal 10, uang saya tidak di terima skolah dengan alasan pegawai bank nya sudah pulang, dan bila tidak bayar tidak dapat kartu ujian. Menurut saya ini salah skolah, skolah memberikan waktu sampai tanggal 10 dan di saat tanggal 10 malah tidak bisa membayar. Menempuh pendidikan di indonesia masih terkendala dengan uang, anak2 yg kurang mampu tidak bisa skolah karna tidak punya cukup uang.
Seharusnya sekolah negeri di indonesia tidak perlu memungut uang dari siswa, dan memberikan fasilitas dan guru yang terbaik untuk siswa nya. contoh saja dari pendidikan di finlandia yg pernah saya posting juga, di Finlandia skolah tidak memungut uang sepersen pun, dan memberikan fasilitas dan guru minimal S2, dan finlandia menjadi negara dengan pendidikan terbaik di dunia saat ini, dan tingkat korupsi terendah di dunia.

Follow twitter : @Dhika_Rachmanda
© Andhika Rachmanda
Maira Gall