Wednesday, 17 April 2013

Potret buram pendidikan di Indonesia


PENDIDIKAN merupakan hak setiap warga negara. Pendidikan seharusnya dapat dirasakan semua kalangan. Hal itu juga tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; dan ayat (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Selanjutnya dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Pasal 5 (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus; dan pasal (5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Namun kenyataan tidaklah demikian. Dunia pendidikan di Indonesia sarat dengan masalah yang tak kunjung terselesaikan. Berdasarkan data HDI (Human Development Index) 2011, kualitas pendidikan Indonesia berada pada peringkat 124 dari 187 negara. Indikator rendahnya kualitas ini dikuatkan dengan fakta yang bisa dirasakan kita sendiri bagaimana begitu menumpuknya persoalan pendidikan nasional, antara lain: liberalisasi pendidikan, tingginya buta huruf, rendahnya daya saing, kerusakan moral, tingkat putus sekolah, mahalnya pendidikan, dan keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan.
Survei Internasional Associations for Evaluation of Educational (IEA) tahun 1992 menyebutkan, kemampuan membaca murid-murid Sekolah Dasar Indonesia berada pada urutan ke-29 dari 30 negara di dunia, berada satu tingkat di atas Venezuella. Riset International Association for Evaluation of Educational Achievement (IAEEA) tahun 1996 menginformasikan bahwa melek baca siswa usia 9-14 tahun Indonesia berada pada urutan ke-41 dari 49 negara yang disurvei.
Data Bank Dunia tahun 1998 menginformasikan pula kebiasaan membaca anak-anak Indonesia berada pada level paling rendah (skor 51,7). Skor ini di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1), dan Singapura (74,0). Dalam tahun 1998-2001 hasil suveri IAEEA dari 35 negara, menginformasikan melek baca siswa Indonesia berada pada urutan yang terakhir.
Berdasarkan laporan Departmen Pendidikan dan Kebudayaan, setiap menit ada empat orang anak yang putus sekolah. Tahun 2010, anak usia sekolah (7-15 tahun) yang terancam putus sekolah mencapai 1,3 juta orang. Mahalnya biaya pendidikan pun masih menjadi masalah yang tidak pernah selesai. Para siswa pun harus dibebani dengan membayar buku-buku pelajaran yang mahal.
Sarana dan prasarana pendidikan masih begitu jauh dari maksimal. Di daerah-daerah terpencil banyak siswa yang belajar di tenda-tenda, gedung sekolah yang sudah lapuk dan hampir roboh, bahkan para siswa harus menantang maut ketika berangkat sekolah dengan menyeberangi jembatan gantung yang nyaris putus.
Akses meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi masih terasa begitu sulit ketika Perguruan Tinggi sedikit demi sedikit diliberalisasi. Ketika diliberalisasi perguruan tinggi menjadi seperti perusahaan yang mencari keuntungan dari mahasiswa karena biaya operasional pendidikan tidak lagi disubsidi pemerintah.
Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Ini potret buram pendidikan Indonesia karena mengadospsi sistem pendidikan yang salah. Permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan di Indonesia adalah akibat dari penerapan sistem pendidikan sekular-liberal. Sistem pendidikan sekular ini merupakan subsistem dari sistem kehidupan yang diterapkan dinegara Indonesia.
Permasalahan pendidikan di Indonesia, seperti halnya permasalahan di bidang ekonomi, politik, budaya, dan sosial kemasyarakatan adalah disebabkan pandangan hidup yang diterapkan di negara indonesia, yakni pandangan hidup yang berparadigma kapitalis sekular. Ini sangat jelas terlihat. Bagaimana tidak, pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara, seharusnya dipermudah aksesnya, akhirnya malah berujung menjadi komoditas dan yang mampu menikmatinya hanyalah segelintir orang kaya.
Seperti itulah deskripsi pendidikan di negara kita, yang merupakan negeri kaum muslimin dengan populasi umat Islam terbesar, tahun 2010 mencapai 85.1% (Wikipedia). Ternyata kini, banyak warga negara kita masih kesulitan untuk mengenyam bangku pendidikan. Banyak anak-anak yang terancam putus sekolah. Kondisi seperti ini sangat jauh ketika dahulu kaum muslimin berada dalam masa-masa keemasan dan menjadi pemimpin peradaban dunia.
Untuk urusan Sekolah negeri pun indonesia masih jauh dalam kata adil, ada sekolah dengan status unggulan dan non-unggulan. Anak-anak yg lebih pintar masuk sekolah unggulan, dan yang kurang pintar masuk sekolah non-unggulan. Seperti ada pengelompokan kecerdasan. Dan tidak semua sekolah negeri mendapat perhatian layak dari pemerintah, bantuan dana tidak dibagikan secara merata, Bahkan ada sekolah yg mengincar keuntungan semata tanpa memikirkan nasib anak penerus Bangsa Indonesia. Sedangkan di Malaysia semua warga pendidikannya dibebaskan dari biaya  sampai tamat SMA, dan itu benar-benar dijamin, dan Semua sekolah negeri disana dijamin kualitasnya
Butuh waktu bertahun untuk merubah ini semua, tapi itu semua pasti bisa dirubah dengan kesadaran kita Semua untuk mewujudkan hal itu.
© Andhika Rachmanda
Maira Gall