PENDIDIKAN merupakan hak setiap warga negara. Pendidikan
seharusnya dapat dirasakan semua kalangan. Hal itu juga tertuang dalam UUD 1945
Pasal 31 ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (3)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; dan ayat (4)
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Selanjutnya dalam UU Sisdiknas
No. 20 Tahun 2003, Pasal 5 (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; Warga negara di daerah terpencil atau
terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan
layanan khusus; dan pasal (5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan
meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Namun kenyataan tidaklah
demikian. Dunia pendidikan di Indonesia sarat dengan masalah yang tak kunjung
terselesaikan. Berdasarkan data HDI (Human Development Index) 2011, kualitas
pendidikan Indonesia berada pada peringkat 124 dari 187 negara. Indikator
rendahnya kualitas ini dikuatkan dengan fakta yang bisa dirasakan kita sendiri
bagaimana begitu menumpuknya persoalan pendidikan nasional, antara lain:
liberalisasi pendidikan, tingginya buta huruf, rendahnya daya saing, kerusakan
moral, tingkat putus sekolah, mahalnya pendidikan, dan keterbatasan sarana dan
prasarana pendidikan.
Survei Internasional Associations
for Evaluation of Educational (IEA) tahun 1992 menyebutkan, kemampuan membaca
murid-murid Sekolah Dasar Indonesia berada pada urutan ke-29 dari 30 negara di
dunia, berada satu tingkat di atas Venezuella. Riset International Association
for Evaluation of Educational Achievement (IAEEA) tahun 1996 menginformasikan
bahwa melek baca siswa usia 9-14 tahun Indonesia berada pada urutan ke-41 dari
49 negara yang disurvei.
Data Bank Dunia tahun 1998
menginformasikan pula kebiasaan membaca anak-anak Indonesia berada pada level
paling rendah (skor 51,7). Skor ini di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1),
dan Singapura (74,0). Dalam tahun 1998-2001 hasil suveri IAEEA dari 35 negara,
menginformasikan melek baca siswa Indonesia berada pada urutan yang terakhir.
Berdasarkan laporan Departmen Pendidikan
dan Kebudayaan, setiap menit ada empat orang anak yang putus sekolah. Tahun
2010, anak usia sekolah (7-15 tahun) yang terancam putus sekolah mencapai 1,3
juta orang. Mahalnya biaya pendidikan pun masih menjadi masalah yang tidak
pernah selesai. Para siswa pun harus dibebani dengan membayar buku-buku
pelajaran yang mahal.
Sarana dan prasarana pendidikan
masih begitu jauh dari maksimal. Di daerah-daerah terpencil banyak siswa yang
belajar di tenda-tenda, gedung sekolah yang sudah lapuk dan hampir roboh,
bahkan para siswa harus menantang maut ketika berangkat sekolah dengan
menyeberangi jembatan gantung yang nyaris putus.
Akses meneruskan pendidikan ke
perguruan tinggi masih terasa begitu sulit ketika Perguruan Tinggi sedikit demi
sedikit diliberalisasi. Ketika diliberalisasi perguruan tinggi menjadi seperti
perusahaan yang mencari keuntungan dari mahasiswa karena biaya operasional
pendidikan tidak lagi disubsidi pemerintah.
Kondisi ini sungguh
memprihatinkan. Ini potret buram pendidikan Indonesia karena mengadospsi sistem
pendidikan yang salah. Permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan di
Indonesia adalah akibat dari penerapan sistem pendidikan sekular-liberal.
Sistem pendidikan sekular ini merupakan subsistem dari sistem kehidupan yang
diterapkan dinegara Indonesia.
Permasalahan pendidikan di
Indonesia, seperti halnya permasalahan di bidang ekonomi, politik, budaya, dan
sosial kemasyarakatan adalah disebabkan pandangan hidup yang diterapkan di
negara indonesia, yakni pandangan hidup yang berparadigma kapitalis sekular.
Ini sangat jelas terlihat. Bagaimana tidak, pendidikan yang seharusnya menjadi
tanggung jawab negara, seharusnya dipermudah aksesnya, akhirnya malah berujung
menjadi komoditas dan yang mampu menikmatinya hanyalah segelintir orang kaya.
Seperti itulah deskripsi
pendidikan di negara kita, yang merupakan negeri kaum muslimin dengan populasi
umat Islam terbesar, tahun 2010 mencapai 85.1% (Wikipedia). Ternyata kini,
banyak warga negara kita masih kesulitan untuk mengenyam bangku pendidikan. Banyak
anak-anak yang terancam putus sekolah. Kondisi seperti ini sangat jauh ketika
dahulu kaum muslimin berada dalam masa-masa keemasan dan menjadi pemimpin
peradaban dunia.
Untuk urusan Sekolah negeri pun indonesia masih jauh dalam kata
adil, ada sekolah dengan status unggulan dan non-unggulan. Anak-anak yg lebih
pintar masuk sekolah unggulan, dan yang kurang pintar masuk sekolah
non-unggulan. Seperti ada pengelompokan kecerdasan. Dan tidak semua sekolah
negeri mendapat perhatian layak dari pemerintah, bantuan dana tidak dibagikan
secara merata, Bahkan ada sekolah yg mengincar keuntungan semata tanpa
memikirkan nasib anak penerus Bangsa Indonesia. Sedangkan di Malaysia semua
warga pendidikannya dibebaskan dari biaya sampai tamat SMA, dan itu benar-benar dijamin,
dan Semua sekolah negeri disana dijamin kualitasnya
Butuh waktu bertahun untuk merubah ini semua, tapi itu semua
pasti bisa dirubah dengan kesadaran kita Semua untuk mewujudkan hal itu.